Puisi-puisi Irvan Syahril
Irvan Syahril, lahir pada 18 November 1997 di Subang, Jawa Barat. Seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Singaperbangsa Karawang. Menggawangi komunitas Gubuk Benih Pena (GBP) serta bergiat dalam Ekstrakurikuler Bengkel Menulis Unsika (Bemsika) dan Komunitas Kelas Puisi Bekasi.Beberapa puisi permah terbit di media cetak dan online. Beberapa puisi termaktub dalam buku antologi puisi bersama Karawang Abadi Dalam Puisi (2018), Kunanti di Kampar Kiri (2018), Kepada Toean Dekker (2018), Bintalak (2018), a Skyful of Rain (2018).
Pamoyanan
Kelak ketika kaubuka ritsleting tenda
pada waktu subuh, lalu menghadap ke timur
menunggu cahaya menggambar
bayang-bayang: awan, pohon, dan tubuh kita.
Kau harusnya telah mencintai kota ini
membawanya berlari, ujung ke ujung batas peta,
hingga rasa lelah mengalahkanmu
dan bahu kota adalah tempat rebahnya usia.
Kota kita memang berselimut kabut, dingin,
dan kebun teh di tubuh bukit-bukit. Pada tiap
bukit ada tapak kaki para ibu berkeranjang,
tiap keranjang ada harapan dan doa
yang tak pernah diabukan musim dan waktu.
Di dalam sini, kita hangatkan jantung
sebelum mimpi membawa jauh ke angan
sebelum hampar kenyataan hijau
juga jentik lampu membuat ilusi jalan baru.
Dengarkan degup kota kita
seperti ada rindu yang hidup di tubuhnya
kau dan aku serupa dua anak yang hilang
dari peluk kandung ibu sendiri.
Bangunlah ketika pertama kali
burung mengibas bulu-bulunya itu
dan gerak lentik tangan pemetik teh
kau mungkin tak mau hilang lagi.
Menetap meratap bersama kota
yang tak pernah kausebut di pengembaraan itu.
Serpihmimpi, 2019
Pada Suatu Waktu di Bandara
Kelak kita terhenti di suatu alamat tanpa rambu
mendadak asing dan segala tanda gagal terbaca.
Dari ruang ini waktu beringsut ke ujung arah angin
pesawat di balik dinding kaca membawa mereka
dan mereka yang lain mengenang kembali air mata.
Alun selo bercampur suasana ramun semesta yang dingin
sebelum dentang membawa di antara kita melenyap jauh
sebelum waktu memberat sepanjang pelukan yang rapuh
juga kenangan bergerak pada dinding menjadi abu.
“Adakah tempat yang tak asing di diri kita?” katamu.
Antara kita pula nanti akan datang sebagai orang tersesat
dalam sebuah mimpi ketika malam berkarat di cangkir kopi
“Aku perigi kehilangan airnya sendiri sementara kau air
yang sesap ke dalam kering tubuhku.”
Kelak kita akan mengerti betapa lebar waktu
tak mempertemukan siapa-siapa dan pagi berhenti berdebar.
Serpihmimpi, 2019
Bapak Disembunyikan Laut
1/
Aku laut yang terbentang memantulkan langit dan awan
di atas tubuhku kau boleh melayar sejauh peta dunia
menjelajah pulau-pulau dan bertemu bajak laut raksasa.
Akulah yang menciptakan debur saat malam ada di pelupukmu
saat sebuah mimpi berhenti di tengah jalan, lepas itu kau bertanya
“Apakah kau pula yang sembunyikan bapak dari tidur panjangku?”
2/
Aku juga pendengar hatimu yang berguguran selepas badai itu
mimpi tak ada yang berlaku adil kepadamu segalanya jadi rasa takut
kemelut yang terus menyala, membakar habis waktu-waktu.
“Apa yang patut aku arungi di tubuhmu? Jika semua cinta berhasil
sekali lenyap digapai tangan ombakmu.” Katamu sambil sesekali
melempar reranting tua dan memecah senja di tubuhku.
3/
“Sekarang aku harus bagaimana? Kau tak punya kehangatan!”
Aku berusaha menggapai dua kakimu. Dan dari sanalah aku
menyalahkan diri, mengapa tak aku hempas karang-karang
yang mengganjal ombakku di tapak kepedihan itu. Diam-diam
kau membuka mata menyibak masa lalu dan melayar ditubuhku.
Serpihmimpi, 2019